Tulisan tentang fenomena syiah
Soritua Ahmad Ramdani Harahap
Fenomena Syiah
Pada akhir zaman
ini telah banyak bermunculan keyakinan-keyakinan baru yang mana telah keluar
dari ajaran aqidah yang benar. Ajaran yang sedang mulai diperbincangkan oleh
seluruh umat adalah ajaran syiah. Yang mana mereka mengaku islam tetapi aqidah
dan ajarannya benar-benar telah melenceng dari agama islam. Pada masalah ahli
bait, syiah meyakini bahwa Ali radiallahuanhu adalah imam yang ma’sum. Mereka
meyakini para sahabat adalah kafir, karena mereka menganggap bahwa para
sahabat, khususnya Umar dan Usman telah mengambil hak Ali yang sebenarnya ialah
yang harusnya menjadi khalifah.
Padahal sebenarnya Ali menolak untuk menjadi
khalifah, bahkan dikatakan di suatu kitab syiah yang bernama Nahj al-Balaghah
yang isinya “tinggalkanlah aku, dan carilah orang selain aku”. Para penganut ajaran Syiah sangat marah apabila mendengar nama
Aisyah, sebab beliau adalah istrinya Rasulullah SAW dan mereka sangat membenci
ummul mukminin Aisyah. Mereka menganggap
bahwa Aisyah adalah seorang pendusta dan pezina, bahkan mereka mengatakan bahwa
kelak Aisyah akan dibakar di neraka kelak.
Lebih daripada itu mereka menganggap bahwa Aisyah adalah penyebab
wafatnya Rasulullah Saw, dengan cara meracuni beliau hingga wafat, Ini adalah suatu penyimpangan yang sangat
jelas telah melenceng dari ajaran islam. Pada hakikatnya Aisyah adalah istri
nabi yang taat dan patuh kepada Rasulullah SAW. Keberadaan ajaran Syiah luar
biasa aktifnya apalagi di Indonesia. Mereka sangat ahli menempatkan
orang-orangnya di posisi penting serta sangat lihai dalam melobi para pejabat
pemerintah. Apalagi kelompok syiah di Indonesia sangat didukung terang-terangan
dari kedutaan Besar Iran di Jakarta. Gerakan syiah di Indonesia telah memiliki
beberapa percetakan penerbit besar, seperti penerbit Mizan Bandung, Penerbit
Pustaka Hidayah Bandung, penerbit Lentera hati Jakarta, dan penerbit al-Huda.
Menurut penelitian LPPI
tahun 1996 yang lalu para penerbit syiah telah menyebarkan 82 jilid buku yang mana didalamnya mengajarkan ajaran syiah.
Gerakan syiah juga sudah memiliki yayasan-yayasan hampir 13 yang bergerak dalam
bidang pendidikan dan pesantren. Dimana salah satu pimpinan yayasn tersebut
adalah Jalaluddin Rachmat. Kesesatan dan penyimpangan syiah sangat jelas sekali dan tidak
dapat dinafikan lagi, diantaranya syiah memandang Imam itu suci, dan memandang
bahwa menegakkan kepemimpinan/pemerintahan (imamah) adlah rukun agama. Para
penganut syiah sangat menolak adanya hadist yang tidak diriwiyatkan oleh ahlul
bait, mereka pada umumnya tidak mengakui kekhalifahan abu Bakar, Umar, dan
Ustman , dalam ajarannya sangat dihalalkan yang namanya nikah mut’ah, (kawin
kontrak), yang sudah diharamkan oleh Nabi Muhammad SAW sebelumnya.
Para Imam dianggap Ma’sum , itu bertentangan dengan ajaran umat
islam, karena pada hakikatnya yang ma’sum adalah Nabi. Bahkan syiah sendiri
mempunyai batasan kewenangan imam setelah kasus imam Khomeini yang cenderung
menuruti kehendak hawa nafsunya hingga akan mengakibatkan hancurnya rakyat Iran
karena tetap diharuskan untuk melakukan peperangan dengan Irak, maka kemudian
dibatasilah wewenang imam.
Syiah pada hakikatnya telah memporakporandakan
ajaran agama islam dan umat islam sejak adanya anggapan bahwa yang berhak
menjadi khalifah setelah Nabi Muhammad SAW adalah Ali bin Abi Thalib. Anggapan
itu bukan hanya sekedar tak mengakui kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar
bin Khattab, dan Ustman bin Affan, tetapi mereka dengan beraninya untuk
mengkafirkan para sahabat yang telah dijelaskan bahwa para sahabat tersebut
dijamin masuk surge oleh Nabi Muhammad SAW itu. Bahkan syiah menganggap yang
berhak menjadi khalifah adalah Ali bin Abi Thalib serta keturunannya sampai 12
orang yang disebut-sebut oleh penganut syiah adlah imam yang ma’sum terpelihara dirinya dari melakukan kesalahan.
Kaum syiah juga menyatakan bahwa para sahabat adalah komplotan pencuri dan
perampok , mereka dipandang tidak memiliki agama, dan dipandang tidak mempunyai
kata hati untuk mencegah dan menghalangi suatu kebohongan, kebinasaan, dan yang
paling fatal adalah kerusakan duniawiah.
Padahal menurut riwayat yang sebenarnya,
ternyata para sahabat itu dalam sejarah, dari generasi ke generasi lainnya,
dari dahulu sampai sekarang, tercatat sebagai orang-orang yang bertaqwa kepada
Allah dan terhormat jalan hidupnya. Pada masa Rasulullah, para sahabat sangat
mematuhi dan menuruti apa yang dikatakan oleh Nabi, karena mereka yakin bahwa
apa yang dikatakan oleh Nabi semuanya dari Allah SWT. Lagi pula ajaran Islam tidak akan tersebar
keseluruh pelosok alam, tanpa usaha para sahabat yang dengan gagah berani
sanggup meninggalkan keluarga dan kampung halaman demi menegakkan
agama Allah dalam membela kebenaran yang diyakini dalam rangka menaati jalan
Allah. Tetapi
penghujatan yang dilakukan oleh syiah itu sendiri terhadap para sahabat dan
umat Islam (sunni) secara keseluruhan memang sejak dulu terjadi. Hingga istilah
taqrib (pendekatan) antara sunni dan syiah sengaja diciptakan sebagai kedok
untuk menikam atau menjelek-jelekkan, mencaci maki para sahabat dan muslimin
(sunni) pada umumnya sebagaimana yang dikemukakan
oleh Musthafa As-Siba’i.
Meskipun Al-Qur’an dan hadist Nabi Muhammad
SAW telah menegaskan kebaikan para sahabat, namun orang-orang syiah secara
terang-terangan maupun yang tidak mau mengaku, mereka tidak segan-segan
menghujat, membuat pemurtadan, mengkafirkan, memojokkan para sahabat sampai pada
periwayat hadist yang terkemuka seperti Abu Hurairoh. Abu Rayyah di Mesir menghujat Abu Hurairoh diantaranya As-Siba’I
merujuk pula pada metedologi ajaran syiah. Menurut Farid ahmad Okbah yaitu
salah satu peneliti syiah yang memprotes atas hujatan-hujatan yang telah
ditujukan kepada Abu Hurairoh, beliau mengatakan bahwa hujatan itu telah
dibantah oleh sepuluh ulama yang terkemuka.
Permasalahan utama adanya perselisihan pendapat tentang daulah Islam
(termasuk didalamnya tentang imamah/kepemimpinan) adalah perbedaan pendapat
dalam memandang suatu mana yang menjadi pokok (ushul) dan yang cabang (furu’)
dalam Islam. Hal yang dimaksud pada pemerintahan Islam itu adalah masalah
dasar-dasar legislatif, maka hal tersebut termasuk pokok dalam pandangan Islam dan aqidah yang
benar, berdasarkan firman Allah SWT: Barangsiapa tidak menghukumi dengan apa yang
diturunkan oleh Allah, maka mereka adalah kafir” (al-Maidah: 44)
Akan tetapi hal yang dimaksud pemerintahan
itu adalah cara penguuasa, maka termasuk cabang dari Islam. Sebab kalau hanya
format sistem pemerintahan, bukan substansinya, itu adalah masalah alat yang
dalam islam dipersilakan untuk diijtihadi oleh para ahlinya sesuai dengan
kondisi dan situasi. Salim Ali Al-Bahnasawi ulama Timur Tengah telah
mencontohkan Rasulullah SAW ketika meminta suatu kepada kaum Anshar untuk
memilih utusan yang akan mewakili mereka, rasul tidak menentukan dengan apa,
bagaimana caranya, melainkan beliau hanya bersabda, ”keluarkanlah untukku
diantara kamu 12 wakil utusan.’’ Dari contoh diatas dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa perselisihan faham dikalangan ulama hanyalah didalam hal
istilah, bukan dalam pemerintahan dengan sistem syariah. Tetapi lantaran ada
sekte (syiah) yang mempunyai prinsip bahwa sistem pemerintahan dalam islam
berdasarkan pada penentuan dari Allah (imamnya), tidak pada pemilihan dari umat
itu sendiri, maka disinilah yang membuat timbul perbedaan pendapat yang asas
pada masalah ini.
Pada pertemuan besar yang terdiri diantara
para sahabat Nabi Muhammad SAW yang melaksanakan ibadah haji bersamanya tidak
seorangpun diantara mereka yang mengatakan tentang wasiat ini kepada Ali dari
Allah SWT untuk menjadi penerus kepemimpinan umat. Anggapan Ali dipaksa untuk
menjadi pemimpin, bertentangan dengan pandangan mengenai ishmahnya
(keterpeliharaanya) dan bertentangan dengan kenyataan. Sebab sahabat-sahabat
yang lain menginginkan khilafah untuk kaumnya, yang tinggal diam. Maka
bagaimana dengan orang yang diyakini ma’shum
(terpelihara), dan dia diberi amanat dari Allah untuk urusan ini? Jika
riwayat ini boleh didiskusikan maka tidak adanya permintaan dari Ali apa yang
diamanatkan kepadanya berupa wasiat kepemimpinan setelah Nabi wafat, adalah
salah satu bukti tidak adanya riwayat dan keabsahannya.
Sebab seandainya memang benar dia telah diberi
amanat ini tentu tidak tinggal diam. Sedangkan yang mengatakan bahwa Ali telah
bersikap diam berarti menafikan ishmah. Keyakinan ini terhadap Ali justru
melecehkan Ali. Dapat dikatakan demikian sebab hal itu mengandung tuduhan bahwa
Ali mengkhianati amanat yang diberikan Allah kepadanya. Anggapan tentang
keterpaksaan Ali, terbantah dengan suatu bukti bahwa ia mau mengawinkan anak
puterinya dengan Umar bin Khattab. Disamping itu pula terdapat suatu anggapan
bahwa Ali bersikapa diam terhadap kekhalifahan Abu Bakar sebagai suatu jalan
demi menuju kekhalifahannya sendiri. Yang demikian telah benar-benar
menunjukkan bukti tidak adanya nash (teks) dari Allah SWT berkenaan dengan
penentuan para imam setelah Nabi Muhammmad SAW.
Istilah Ishmah yang terdapat dalam
sumber-sumber ini tidak berarti terjaga dari perbuatan dosa atau melanggar
suatu larangan yang telah ditetapkan, melainkan ishmah yang mempunyai
pengertian terjaga dalam pengambilan dari Allah SWT tanpa sanad yang berantai
hingga sampai pada Nabi Muhammad SAW. Maka perkataan dan perbuatannya menempati kedudukan riwayat dari Nabi
Muhammad SAW tanpa harus ada perawinya (sanad) antara yang mas’shum dengan Nabi
Muhammmad SAW. Maka dari itu, sudah sepantasnya sebagai umat Islam harus
menguatkan aqidah masing-masing agar tetap berada pada jalan yang lurus dan
tidak melenceng dari agama Islam. Kehatian-hatian pada seluruh ajaran baru
harus diterapakan khususnya ajaran syiah yang mana telah banyak menyebarkan
ajarannya. Semua itu dilakukan agar terhindar dari tipu daya yang diberikan
mereka kepada umat Islam. Wallahu A’lam
Komentar
Posting Komentar