Esai Tentang Islam sebagai rahmatan lil-alamin
ISLAM SEBAGAI RAHMATAN LIL-ALAMIN BERDIMENSI
DUNIA DAN AKHIRAT
Islam yang dibawa Rasulullah SAW merupakan suatu sistem nilai yang
mana mempunyai kandungan/isi seperangkat aturan dan norma-norma yang
berhubungan dengan seluruh aspek kehidupan sehari-hari manusia. Seseorang yang beragama islam, dalam
melaksanakan segala aktifitasnya harus tunduk dan patuh pada ketentuan syariat
islam. Dengan sendirinya Islam telah membawa rahmatan lil-alamin kepada seluruh
umat manusia. Karena setiap langkah dan polanya telah diatur pada norma sesuai
syariat islam. Pada masalah mendasar yang sedang menyelimuti umat pada saat ini
dan yang akan datang adalah semakin menggejalanya munkarat yang bergerak secara
sistematis di berbagai aspek kehidupan. Telah berbagai macam kemungkaran yang
terwujud dalam dalam bentuk pemikiran atau faham yang menyimpang dari ajaran
dan nilai-nilai islami.
Faham-faham penyimpangan seperti faham yang secara tidak langsung
ingin memecahkan sebuah persatuan umat islam yang telah lama mengusung sebuah
faham perdamaian. Seperti yang telah terjadi ketika zaman Rasulullah, bagaimana
beliau membawa ajaran agama islam dengan membawa perdamaian dan keadilan bagi
seluruh umat di dunia ini. Pada hakikatnya agama yang mengajarkan sebuah
perdamain adalah agama Islam. Seperti yang pernah kita ketahui bahwa bahwasanya
kita cara berdakwah itu ada tiga, diantaranya: dengan hikmah, pesan dan
nasehat, dan kalaupun harus berdebat haruslah menggunakan kalimat yang baik.
Ini adalah bukti betapa indahnya agama Islam, tiada paksaan ataupun kekerasan
di dalam ajarannya.
Nabi Muhammad SAW
diutus ke muka bumi ini atas dasar Rahmat Allah yang dihadiahkan kepada umat
manusia. Rasul diutus untuk menyempurnkan akhlak setiap manusia, yang ,mana
disaat ini terdapat kerancuan di setiap kehidupan. Ada banyak sekali hal yang
menunjukkan islam sebagai rahmatan lilalamin. Diantaranya adalah islam yang dibawa
Rasulullah SAW diturunkan untuk seluruh manusia, bukan hanya untuk kelompok
atau golongan etnis tertentu saja. Islam sendiri sangat menjamin keselamatan
lahir dan batin, dunia dan akhirat, bagi siapa saja yang mengimani dan
menjalankan perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Didalam Islam
sendiri tata kehidupan manusia didunia ini telah diatur dengan rapi. Islam akan
memberikan jaminan keselamatan dan kedamaian jika diambil sebagai kaidah
penuntun dan pedoman didalam kehidupan. Hal ini semua bisa kita dapati dari
sifat-sifat keluhuran ajaran islam. Islam sangat menjunjung tinggi sekali
sebuah prinsip keadilan dan perdamaian. Keadilan dalam pandangan Islam tidak
berarti sama rata sama rasa, tetapi keadilan adalah menempatkan sesuatu pada
tempatnya serta memberlakukan manusia sesuai dengan hak dan kewajibannya. Islam
sangat menuntut berbuat adil bagi seluruh umatnya kepada siapapun termasuk
orang-orang yang dibenci sekalipun bahkan terhadap musuh sekalian.
Islam datang tidak
untuk membebani umat melainkan untuk menghilangkan beban yang ada pada umat itu
sendiri. Selain itu ajarannya membawa pada suatu kebijaksanaan dan kemudahan
(mendorong untuk mencarikan jalan keluar atas suatu permasalahan. Berangkat
dari sistem hukum ini dikenal dengan ketentuan yang termasuk azimah (ketentuan
istilah Islam rahmatan lil ‘alamin sudah mengalami penyempitan makna, yakni
menjadi Islam yang lembut dan damai. Sehingga ketika ada saja sedikit reaksi
perlawanan dari umat Islam terhadap penjajahan barat, baik secara non fisik,
apalagi fisik, maka langsung dicap Islam yang tidak rahmatan lil ‘alamin. Bila makna Islam rahmatan lil ‘alamin hanya diartikan sebagai
sebuah kelembutan dan kedamaian semata. Mungkin kita tidak akan pernah membaca
kisah peperangan ghozwah (yang diikuti Rasulullah saw) dan sariyah (yang
diikuti Rasulullah saw.). Begitu pula kita tidak akan mengenang betapa kuatnya
kisah para pahlawan melawan penjajahan dengan pekik takbir yang membahana
dimana-mana. Islam memang tidaklah identik dengan kekerasan, tetapi juga bukan
berarti harus serba lembut dan kompromistis dalam hal pensikapan. Islam tidak
identik dengan kewajiban jihad semata. Tapi Islam pun tidak identik dengan
senyum adalah shodaqoh semata. Terkadang Rasulullah saw. bersikap lembut
terhadap orang yang memusuhi beliau, seperti kepada Suraqah yang hendak
membunuhnya tetapi digagalkan oleh Allah swt. Namun beliau saw. juga bersikap
keras terhadap musuhnya, sebagaimana sikap beliau yang memerangi Bani Quraidzah
karena pengkhianatannya. Istilah rahmatan lil ‘alamin termaktub dalam Q.S. Al
Anbiya[ 21]:107, yang artinya : “dan tiadalah Kami mengutus engkau (hai
Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamiin)”.
Sangatlah tidak adil bila kita melihat Islam hanya dari segi hukum
kewajiban jihad semata, baik yang bersifat defensif maupun ofensif. Kita juga
perlu melihat jaminan keamanan dalam Islam, pun persamaan hak di dalam sistem
Islam. Dalam sistem Islam, orang-orang muslim maupun non muslim akan
mendapatkan perlakuan sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah. Hak-hak mereka
sebagai warga negara dijamin penuh oleh negara Islam. Islam tidak akan memaksa
non muslim untuk masuk Islam. Islam pun tidak akan membumihanguskan
tempat-tempat peribadatan mereka. Islam akan membiarkan non muslim hidup
berdampingan bersama-sama orang-orang muslim selama mereka tidak memerangi kaum
muslim. Orang-orang non muslim yang hidup di dalam negara Islam (kafir dzimmi)
mendapat perlakuan dan hak yang sama dengan kaum muslim. Harta dan darah mereka
terjaga sebagaimana terjaganya harta dan darah kaum muslim. Dari Ibnu Mas’ud,
Al Khatib meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang
menyakiti kafir dzimmi, maka aku akan berperkara dengannya, dan barangsiapa
yang berperkara denganku, maka aku akan memperkarakannya pada Hari Kiamat.”
(Jami’ush Shagir, As-Suyuthi)
Agama Islam dan budaya mempunyai indepensi masing-masing, Islam
adalah agama rahmatan lil ‘alamin artinya Islam merupakan agama yang membawa
rahmat dan kesejahteraan bagi semua seluruh alam semesta, termasuk hewan,
tumbuhan dan jin, apalagi sesama manusia. Sesuai dengan firman Allah dalam
Surat al-Anbiya ayat 107 yang bunyinya, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu,
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. Islam melarang manusia
berlaku semena-mena terhadap makhluk Allah, dapat kita lihat sabda Rasulullah
sebagaimana yang terdapat dalam Hadis riwayat al-Imam al-Hakim, “Siapa yang
dengan sewenang-wenang membunuh burung, atau hewan lain yang lebih kecil
darinya, maka Allah akan meminta pertanggungjawaban kepadanya”. Burung tersebut
mempunyai hak untuk disembelih dan dimakan, bukan dengan cara dibunuh dan
dilempar. Sungguh begitu indahnya Islam itu bukan? Dengan hewan saja tidak
boleh sewenang-wenang, apalagi dengan manusia. Bayangkan jika manusia memahami
dan mengamalkan ajaran-ajaran islam, maka akan sungguh indah dan damainya dunia
ini.
Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia,
sekali lagi, terbanyak di dunia. Maka melihat keterangan di atas, seharusnya Indonesia
menjadi negara yang indah, damai, dan lebih beradab. Tapi lihat saja
kenyataannya, kita tidak bisa menutup mata dan telinga dengan pemberitaan
sehari-hari yang mengabarkan tentang kisah-kisah menyedihkan dan tak beradab
yang terdengar di telinga kita saat ini. Mulai dari seumuran anak-anak yang
melakukan pencabulan, berjudi, menghisab sabu, remaja tawuran antar sekolah,
kumpul kebo, menjadi pengedar, minum-minuman keras. Orang tua yang mencabuli
anaknya sendiri, membunuh anggota keluarga sendiri, membunuh karena masalah
sepele, bunuh diri, mutilasi, dan sebagainya. Sampai kepada pejabat kita yang
melakukan tindak asusila, dan korupsi besar-besaran. Hampir setiap hari
kejadian semacam ini keluar di pemberitaan. Sebenarnya apa yang terjadi? Di
mana moral mereka? Bukankah sebagian besar dari mereka adalah muslim? Bukankah
orang muslim seharusnya menjadi rahmatan lil ‘alamin?
Jika dikatakan bahwa mereka tidak mengenyam pendidikan sepertinya tidak juga. Kebanyakan
dari mereka telah mengenyam pendidikan dasar, bahkan tidak sedikit yang sudah
sarjana bahkan lebih dari itu. Lantas mengapa moral mereka bisa sebegitu
hancurnya? Jawabannya adalah tidak memahami dan menjalankan ajaran islam secara
kaffah. Jika mereka tahu bahwa membunuh binatang semena-mena saja dilarang oleh
islam, mana mungkin sampai berani membunuh sesama manusia, apalagi sesama
muslim. Jika mereka tahu bahwa islam melarang untuk mencuri dan menipu dan
mereka menjalankan larangan itu, mana mungkin mereka berani melakukan korupsi.
Sudah sangat jelas bagaimana islam menjelaskan bagaimana cirri-ciri yang
dimiliki orang islam sesungguhnya. Jika ingin merasakan Indonesia yang damai
sejahtera, maka yang harus dibenahi adalah moral bangsanya, bukan sekedar
pendidikan belaka. Dan pendidikan moral yang sesungguhnya, yang komplit, dan
yang diperintahkan oleh pencipta manusia adalah Islam. Setiap muslim wajib
untuk belajar tentang agamanya. Dengan begitu pula kita akan mampu menjadi
khalifah sesungguhnya di bumi sesuai tujuan diciptakannya kita didunia ini,
yaitu menjadi rahmat bagi semesta alam.
Dalam kehidupan bermasyarakat yang memiliki kontirbusi sosial yang
kompleks dimasa sekarang ini, adanya perbedaan khususnya dalam hal persepsi
adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Upaya membangun persepsi positif
tentang Islam di mata dunia akan sulit terwujud manakala paradigma keislaman
tidak mengedepankan visi Islam Rahmatan Lil ‘Alamin dalam membangun perdamaian
dunia yang lebih hakiki. Akan tetapi banyak sekali penafsiran dan persepsi yang
keliru mengenai konsep rahmatan lil’alamin itu sendiri. Mada dasarnya alam semesta secara umum telah mendapat manfaat
dengan diutusnya Nabi Muhammad. Kemanfaatan yang dimaksudkan disini memiliki
makna yang berbeda untuk subjek yang berbeda. Untuk orang mukmin yang mengikuti
beliau, dapat meraih kemuliaan di dunia dan akhirat sekaligus. Akan tetapi
untuk orang kafir yang memerangi beliau, manfaat yang mereka dapatkan adalah
disegerakannya pembunuhan dan maut bagi mereka, itu lebih baik bagi mereka.
Karena hidup mereka hanya akan menambah kepedihan adzab kelak di akhirat.
Kebinasaan telah ditetapkan bagi mereka. Sehingga, jika dipercepatnya ajal
lebih bermanfaat bagi mereka daripada hidup menetap dalam kekafiran. Sedangkan
untuk orang kafir yang terikat perjanjian dengan beliau, manfaat bagi mereka
adalah dibiarkan hidup didunia dalam perlindungan dan perjanjian. Mereka ini
lebih sedikit keburukannya daripada orang kafir yang selalu memerangi Nabi
Muhammad. Lain halnya untuk orang yang munafik, yang menampakkan iman secara
zhahir saja, mereka mendapat manfaat berupa terjaganya darah, harta, keluarga
dan kehormatan mereka. Mereka pun diperlakukan sebagaimana yang telah
diperlakukan kaum muslimin yang lain dalam hukum waris dan hukum yang lain. Dan
pada umat manusia setelah beliau diutus, Allah tidak memberikan adzab yang
menyeluruh dari umat manusia di bumi. Kesimpulannya, semua manusia mendapat
manfaat dari diutusnya Rasulullah.
Islam adalah rahmat bagi setiap umat manusia, namun orang yang
beriman menerima rahmat ini dan mendapatkan manfaat ini di dunia dan di
akhirat. Sedangkan orang kafir menolaknya. Sehingga bagi orang kafir, Islam
tetap dikatakan rahmat bagi mereka, namun mereka enggan menerima. Sebagaimana
jika dikatakan ‘Ini adalah obat bagi si fulan yang sakit’. Andaikan fulan tidak
meminumnya, obat tersebut tetaplah dikatakan obat”. Kitab suci terakhir yaitu
Al-Qur’an memberikan kesempatan bagi manusia untuk beristimbath (mengambil
kesimpulan) terhadap hukum-hukum yang bersifat furu’iyah. Hal tersebut merupakan
konsekuensi logis dari tuntutan dinamika kehidupannya. Begitu juga kesempatan
untuk menemukan inovasi dalam hal sarana pelaksanaannya sesuai dengan tuntutan
zaman dan kondisi kehidupan, yang semuanya itu tidak boleh bertentangan dengan
ushul atau pokok-pokok ajaran yang permanen. Dari sini bisa kita pahami bahwaAl
Quran itu benar-benar sempurna dalam ajarannya. Tidak ada satu pun masalah
dalam kehidupan ini kecuali Al Quran telah memberikan petunjuk dan solusi.
Allah berfirman, “Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al-Kitab, kemudian
kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan,” (QS al-An’aam: 38). Dalam ayat lain
berbunyi, “Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri,” (QS an-Nahl: 89).
Islam sendiri sebagai penyempurna kehidupan manusia, di antara
rahmat Islam adalah keberadaannya sebagai penyempurna kebutuhan manusia dalam
tugasnya sebagai seorang khalifah di muka bumi ini. Rahmat Islam adalah
meningkatkan dan melengkapi kebutuhan manusia agar menjadi lebih sempurna,
bukan membatasi potensi manusia. Islam tidak pernah mematikan potensi manusia,
Islam juga tidak pernah mengharamkan manusia untuk menikmati hasil karyanya
dalam bentuk kebaikan-kebaikan dunia. “Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan
perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hambaNya dan (siapa
pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” (QS al-A`raf: 32). Islam memberi
petunjuk mana yang baik dan mana yang buruk, sedang manusia sering tidak
mengetahuinya. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu,
dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu;
Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui,” (QS al-Baqarah: 216).
Jalan untuk kebaikan, rahmat dalam Islam juga bisa berupa ajarannya
yang berisi jalan/cara mencapai kehidupan yang lebih baik, dunia dan akhirat.
Hanya kebanyakan manusia memandang jalan Islam tersebut memiliki beban yang
berat, seperti kewajiban sholat dan zakat, kewajiban amar ma’ruf nahi munkar,
kewajiban memakai jilbab bagi wanita dewasa, dan sebagainya. Akan tetapi,
sekarang ini banyak yang salah kaprah dalam memaknai rahmatan lil ‘alamin
tersebut. Sehingga menimbulkan banyak kesalahan dalam praktek beragama bahkan
dalam hal yang sangat fundamental, yaitu dalam masalah aqidah, misalnya
memboleh-bolehkan ucapan natal dari seorang Muslim terhadap umat Nasrani atau
bersifat permisive terhadap ajaran sesat yang tetap mengaku Islam. Dan yang
paling parah ada sebagian kalangan yang menggunakan Ayat ke 107 dari Surat
Al-Anbiya yang untuk melakukan justifikasi terhadap hal-hal yang jauh sekali
menyimpang dari makna rahmatan lil’alamin itu sendiri. Seperti, mengajak untuk
berkasih sayang kepada orang kafir, tidak perlu membenci mereka, mengikuti
acara-acara mereka, enggan menyebut mereka kafir, atau bahkan menyerukan bahwa
semua agama sama dan benar. Atau membiarkan orang-orang meninggalkan shalat,
membiarkan pelacuran merajalela, membiarkan wanita membuka aurat mereka di
depan umum tanpa rasa malu, bahkan membiarkan praktek-praktek kemusyrikan dan
enggan menasehati mereka karena khawatir para pelaku maksiat tersinggung
hatinya jika dinasehati, kemudian berkata : “Islam kan rahmatan lil’alamin,
penuh kasih sayang”. Dan bahkan ada sebagian orang menyepelekan dan enggan
mendakwahkan aqidah yang benar. Karena mereka menganggap mendakwahkan aqidah
hanya akan memecah-belah ummat dan menimbulkan kebencian sehingga tidak sesuai
dengan prinsip bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin.
Sekali lagi perlu ditegaskan disini bahwa pengutusan Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi Wa sallam menjadi rahmat karena beliau telah memberikan
pencerahan kepada manusia yang awalnya dalam kejahilan dan memberikan hidayah
kepada manusia yang awalnya berada dalam kesesatan berupa peribadatan kepada
selain Allah, itulah makna rahmatan lil’alamin yang sesunggunya bukan sekedar
mempersepsikan bahwa dengan adanya Islam maka otomatis akan tercipta suasana
sosial yang sejuk, damai dan toleransi dimana saja Islam berada, apalagi
sebagai mayoritas. Kalau memang ada kemungkaran, memang ada yang perlu
diperangi dan perlu ada pedang yang terhunus dan perlu ada darah yang
tertumpah, itu tidak menjadi masalah selama syariat Islam bisa tegak dimuka
bumi. Tidak ada artinya damai di dunia tapi nelangsa di akhirat. Islam sebagai
rahmat bagi alam semesta adalah tujuan bukan suatu proses. Artinya untuk
menjadi rahmat bagi alam semesta bisa jadi umat Islam harus melalui beberapa
ujian, kesulitan atau peperangan seperti yang telah terjadi di zaman Rasulullah
Saw.
Rahmat dalam Islam adalah rahmat yang sesuai dengan kehendak Allah
dan ajaran-Nya, baik berupa perintah atau larangan-Nya. Secara etimologis,
Islam berarti patuh, tunduk, selamat, damai dan sejahtera, Secara Terminologi,
Islam adalah tunduk dan patuh serta menyerah diri dengan sepenuh hati kepada
Allah swt dengan mengakui segala kebesaran dan keagungannya disamping untuk
melakukan suruhan dan meninggalkan larangan-Nya. Selain itu, Islam juga sebagai
aturan dan cara hidup yang lengkap meliputi segala aspek sebuah kehidupan. Sedangkan
rahmatan lil `alamin berarti alam semesta yang mencakup bumi beserta segala
isinya. Maka yang dimaksud dengan Islam Rahmatan lil’alamin adalah Islam yang
kehadirannya di tengah kehidupan masyarakat mampu mewujudkan kedamaian dan
kasih sayang bagi manusia maupun alam.
Memang benar agama islam adalah agama rahmatan lil’alamin. Namun
banyak orang yang salah kaprah dalam menafsirkannya. Sehingga banyak kesalahan
dalam memahami praktek beragama bahkan dalam hal yang fundamental yaitu akidah.
Permasalahan muncul ketika orang-orang menafsirkan ayat ini secara serampangan,
bermodal pemahaman bahasa dan logika yang dangkal, atau berusaha memaksakan
makna dari ayat agar sesuai dengan hawa nafsunya. Sebagian orang mengajak untuk
berkasih sayang kepada orang kafir, tidak perlu membenci mereka, mengikuti
acara-acara mereka, enggan menyebut mereka sebagai kafir, atau bahkan
menyerukan bahwa semua agama sama dan benar. Kaum muslimin membiarkan orang-orang
meninggalkan shalat, membiarkan pelacuran merajalela, membiarkan wanita membuka
aurat mereka di depan umum bahkan membiarkan praktek-praktek kemusyrikan dan
enggan menasehati mereka karena khawatir para pelaku maksiat tersinggung
hatinya jika dinasehati, kemudian berkata: “Islam kan rahmatan lil’alamin,
penuh kasih sayang”.
Adalagi yang menggunakan ayat ini untuk melegalkan berbagai bentuk
bid’ah, syirik dan khurafat. Karena mereka menganggap bentuk-bentuk
penyimpangan tersebut adalah perbedaan pendapat yang harus ditoleransi sehingga
merekapun berkata: “Biarkanlah kami dengan pemahaman kami, jangan mengusik
kami, bukankah Islam rahmatan lil’alamin?”. Dengan menggunakan ayat ini, ada
juga sebagian orang menyepelekan dan enggan mendakwahkan aqidah yang benar.
Karena mereka menganggap mendakwahkan aqidah hanya akan memecah-belah ummat dan
menimbulkan kebencian sehingga tidak sesuai dengan prinsip bahwa Islam adalah
rahmatan lil ‘alamin. Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Tafsir Ibnul Qayyim
berkata: “Pendapat yang lebih benar dalam menafsirkan ayat ini adalah bahwa
rahmat disini bersifat umum. Dalam masalah ini, terdapat dua penafsiran:
Pertama: Alam semesta secara umum mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Kedua: Islam adalah rahmat bagi setiap
manusia, namun orang yang beriman menerima rahmat ini dan mendapatkan manfaat
di dunia dan di akhirat. Sedangkan orang kafir menolaknya.
Muhammad bin Ali Asy Syaukani dalam Fathul Qadir berkata: “Makna
ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad, dengan membawa
hukum-hukum syariat, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia tanpa ada
keadaan atau alasan khusus yang menjadi pengecualian’. Dengan kata lain,
‘satu-satunya alasan Kami mengutusmu, wahai Muhammad, adalah sebagai rahmat
yang luas. Karena kami mengutusmu dengan membawa sesuatu yang menjadi sebab
kebahagiaan di akhirat. “Muhammad bin Jarir Ath Thabari dalam Tafsir Ath
Thabari berkata: “Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna ayat ini,
tentang apakah seluruh manusia yang dimaksud dalam ayat ini adalah seluruh
manusia baik mu’min dan kafir? Ataukah hanya manusia mu’min saja? Sebagian ahli
tafsir berpendapat, yang dimaksud adalah seluruh manusia baik mu’min maupun
kafir. Pendapat ahli tafsir lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah
orang-orang beriman saja. Pendapat yang benar dari dua pendapat ini adalah
pendapat yang pertama, sebagaimana riwayat Ibnu Abbas. Yaitu Allah mengutus
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam sebagai rahmat bagi seluruh
manusia, baik mu’min maupun kafir. Rahmat bagi orang mu’min yaitu Allah
memberinya petunjuk dengan sebab diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa
sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi Wa sallam memasukkan orang-orang beriman ke
dalam surga dengan iman dan amal mereka terhadap ajaran Allah. Sedangkan rahmat
bagi orang kafir, berupa tidak disegerakannya bencana yang menimpa umat-umat
terdahulu yang mengingkari ajaran Allah.
Berdasarkan penafsiran para ulama ahli tafsir di atas, beberapa
faedah yang dapat kita ambil dari ayat tersebut adalah: Di utusnya Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam sebagai Rasul Allah adalah bentuk kasih
sayang Allah kepada seluruh manusia. Hukum-hukum syariat dan aturan-aturan
dalam Islam adalah bentuk kasih sayang Allah Ta’ala kepada makhluk-Nya. Seluruh
manusia mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa
sallam. Orang kafir yang terikat perjanjian dengan kaum muslimin juga mendapat
rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, Yaitu
terjaga jiwa dan harta mereka. Orang kafir mendapat rahmat dengan diutusnya
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam berupa dihindari dari adzab yang
menimpa umat-umat terdahulu seperti ditenggelamkan kedalam perut bumi, diubah
menjadi binatang dan yang lainnya. Orang munafik yang mengaku beriman di lisan
namun ingkar di dalam hati juga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Mereka mendapat manfaat berupa terjaganya darah,
harta, keluarga dan kehormatan mereka. Mereka pun diperlakukan sebagaimana kaum
muslimin yang lain dalam hukum waris dan hukum yang lain.
Dalam memperlakukan non muslim (Ahli Dzimmah), mereka mendapatkan
hak seperti yang didapatkan oleh kaum Muslimin, kecuali pada perkara-perkara
yang terbatas dan perkecualian. Sebagaimana halnya juga mereka dikenakan
kewajiban seperti yang dikenakan terhadap kaum Muslimin. Kecuali pada apa-apa
yang diperkecualikan. Ialah hak memperoleh perindungan yaitu melindungi mereka
dari segala permusuhan eksternal. Ijma’ Ulama umat Islam terjadi dalam hal ini
seperti yang diriwayatkan Abu Daud dan Al-Baihaqi,“Siapa-siapa yang menzhalimi kafir mu’ahad atau mengurangi haknya,
atau membebaninya di luar kesanggupannya, atau mengambil sesuatu daripadanya
tanpa kerelaannya, maka akulah yang menjadi seterunya pada hari Kiamat (HR. Abu
Daud dan Al-Baihaqi). Kemudian melindungi darah dan badan mereka, melindungi
harta mereka, menjaga kehormatan mereka, memberikan jaminan sosial ketika dalam
keadaan lemah, kebebasan beragama, kebebasan bekerja, berusaha dan menjadi
pejabat, inilah beberapa contoh dan saksi-saksi yang dicatat sejarah mengenai
sikap kaum Muslimin dan pengaruhnya terhadap Ahli Dzimmah.
Islam memang agama yang menyebarkan benih-benih kasih sayang, cinta
dan damai. Islam secara eksklusif bukan berarti terorisme, tetapi eksklusif
dalam pengertian akidah. Yaitu mempercayai dan meyakini bahwa Islam adalah
agama yang paling benar. Dan itu harga mati di dalam akidah setiap Muslim. Dan
makna itu bukan berarti Terorisme. Secara inklusifnya Islam sendiri mewajibkan
umatnya untuk bertoleran sesama manusia. Dan ini tidak bisa diartikan dengan
Pluralisme agama. Yusuf Qardhawi menyatakan bahwasanya tujuan Islam adalah membangun
manusia yang shalih. Tidak mungkin Islam menyebarkan benih-benih terorisme. Dan
bila “jihad” dalam pengertian islam adalah menyeru kepada agama yang benar,
berusaha semaksimal mungkin baik dengan perkataan ataupun perbuatan dalam
berbagai lapangan kehidupan dimana agama yang benar ini diperjuangkan dan dengannnya
ia memperoleh kemenangan maka ia, tentunya lebih luas ketimbang “perang” bahkan
terorisme. Dengan Islam yang Rahmatan lil’alamin ini, kita dapat menyimpulkan
bahwa Islam tidak hanya sebagai agama, tetapi suatu perdaban yang di dalamnya
terdapat pandangan hidup (framework) yang jelas dan universal dalam hal
kebenaran.
Izin unuk referensi ya
BalasHapussilahkan
BalasHapusizin untuk referensi, terimakasih
BalasHapusIzin nyari inti ya kak
BalasHapusBoleh kh?
Izin untuk referensi, terimakasih
BalasHapusIzin
BalasHapus